NAMA :
MUHAMMAD ALI IMRAN CANIAGO
NIM
: 0503171084
MATA KULIAH : STUDI KELAYAKAN BISNIS
RESUME
ASPEK SYARIAH DAN HALAL
A.
Definisi Syariah
Secara istilah syariah bermakna
perundang-undangan yang diturunkan Allah swt melalui Rasulullah Muhammad SAW
untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah ibadah, akhlak, makanan,
minuman, pakaian, maupun muamalah (interaksi sesama manusia dala m berbagai
aspek kehidupan (guna meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[1]
Ada empat prinsip (aksioma) dalam
ilmu ekonomi islam yuang mesti diterapkan dalam
bisnis syariah, yaitu tauhid (Unity/kesatuan), keseimbangan atau
kesejajaran (equilibrium), kehendak bebas (free will) dan tanggung jawab (Responsibility).[2]
B.
Etika Bisnis Syariah
Etika
bisnis Islam merupakan suatu proses dan upaya untuk mengetahui hal-hal yang
benar dan yang salah yang selanjutkan tentu akan melakukan hal benar berkenaan
dengan produk, pelayanan perusahaan dengan pihak yang berkepentingan dengan
tuntutan perusahaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengertian etika
bisnis islami tersebut selanjutnya dijadikan sebagai kerangka praktis yang
secara fungsional akan membentuk suatu kesadaran beragama dalam melakukan
setiap kegiatan ekonomi.[3]
C.
Ciri Khas Bisnis Syari’ah
Untuk membedakan antara bisnis syariah dan yang bukan, maka kita dapat
mengetahuinya melalui ciri dan karakter dari bisnis syariah yang memiliki
keunikan dan ciri tersendiri. Beberapa ciri itu antara lain :
1. Selalu berpijak pada nilai-nilai ruhiyah
2.
Memiliki
pemahaman terhadap bisnis yang halal dan haram
3.
Benar
secara Syar’i dalam implementasi
4. Berorientasi pada hasil dunia dan akhirat.
Jika semua hal diatas dimiliki oleh seorang pengusaha
muslim, niscaya dia akan mampu memadukan antara realitas bisnis duniawi dengan
ukhrowi, sehingga memberikan manfaat bagi kehidupannya di dunia maupun
diakhirat. Akhirnya jadilah kaya yang dengannya kita bisa beribadah di level
yang lebih tinggi lagi.[4]
D. Kerjasama (Syirkah) Dalam Bisnis Syariah
Secara terminologis, menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, syirkah
adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan,
keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagaian keutungan
berdasarkan nisbah.[5]
Menurut ulama hanafiyyah, Syirkah dibagi menjadi :
a. Syirkah mufawadhah, yaitu bentuk perserikatan atau kerja sama dalam
melakukan bisnis yang dilakukan oleh dua orang atas dasar adanya kesamaan baik
dalam modal, keuntungan, kerja, rugi, dan agama. Disebut syirkah mufawadhah
karena masing masing pihak yang berseikat menyerahkan harta yang diajdikan
modal bisnis.
b. Syirkah ‘inan, yaitu bentuk perserikatan atau kerja sama dalam melakukan
bisnis yang dilakukan oleh dua orang atas dasar tidak diharuskan adanya
kesamaan, baik dalam modal, keuntungan, kerja, rugi, dan agama, disebut syirkah
‘inan karena masing masing kedua belah pihak yang berserikat saling menawarkan
kerja sama dalam berbisnis.
c. Syirkah abdan atau syirkah a’mal, yaitu perserikatan yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih untuk melakukan suatu perbuatan atau proyek yang diterima
dari orang lain, yang hasilnya dibagi menurut kesepakatan bersama. Misalnya
tukang penjahit yang membuat kaos seragam, tukang bangunan yang membangun rumah
atau yang lainnya. Disebut syirkah abdan karena masing masing pihak yang
berserikat beramal dengan badannya, dan disebut dengan syirkah a’mal, Karena
masing masing pihak pokok modal syirkah tersebut adalah berupa pekerjaan masing
masing pihak yang berserikat. M. Hasbi Ash Shiddieqy menyatakan bahwa syirkah
abdan adalah bersekutunya dua orang atau lebih untuk mengerjakan suatu
pekerjaan dengan menggunakan tenaga badan masing masing dan hasil yang
diperoleh mereka bagi.[6]
d. Syirkah wujuh, yaitu perserikatan yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih, tidak mempunyai modal sekali, namun modalnya adanya kepercayaan. Mereka
membeli suatu barang secara kredit kemudian menjualnya kembali kepada orang
lain secara tunai, dan keuntungan dari penjualan tersebut dibagi menurut
kesepakatan bersama. Disebut syirkah wujuh, karena pihak pihak yang berserikat
termasuk orang yang mempunyai kedudukan terhormat, sehingga mendapatkan
kepercayaan dari orang lain.[7]
E. Kehalalan Dalam Berbisnis
Sertifikat halal MUI adalah fatwa tertulis majelis ulama Indonesia yang
menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat islam. Sertifikat halal
MUI ini merupakan syarat untuk mendapatkan izin pencaantuman label halal pada
kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang. Tujuan sertifikasi
halal untuk memberikan kepastian status kehalalan, sehingga dapat menenteramkan
batin konsumen dalam mengkonsumsinya. Kesinambungan proses produksi halal
dijamin oleh produsen dengan cara menerapkan system jaminan halal.[8]
Surat Jaminan Halal adalah suatu sistem manajemen yang disusun,
diterapkan dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat halal untuk
menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI.
Proses sertifikasi halal oleh MUI:[9]
1.
Sertifikasi Halal
Sertifikasi
Halal adalah suatu proses untuk memperoleh sertifikat halal melalui beberapa
tahap untuk membuktikan bahwa bahan, proses produksi dan SJH memenuhi standar
LPPOM MUI.
2.
Audit
Audit
adalah suatu pemeriksaan independen, sistematis dan fungsional untuk menentukan
apakah aktivitas dan luarannya sesuai dengan tujuan yang direncanakan.
3.
Auditor LPPOM MUI
Auditor
adalah orang yang diangkat oleh LPPOM MUI setelah melalui proses seleksi
kompetensi, kualitas dan integritasnya dan ditugaskan untuk melaksanakan audit
halal. Auditor
LPPOM
MUI berperan sebagai wakil ulama dan saksi untuk melihat dan menemukan fakta
kegiatan produksi halal di perusahaan.
4.
Audit Produk
Audit
produk adalah audit yang dilakukan terhadap produk dengan melalui pemeriksaan
proses produksi, fasilitas dan bahan-bahan yang digunakan dalam produksi produk
tersebut.
5.
Audit SJH
Audit
SJH adalah audit yang dilakukan terhadap implementasi SJH pada perusahaan
pemegang sertifikat halal.
6.
Sertifikat Halal
Sertifikat
Halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh MUI yang menyatakan kehalalan
suatu produk yang merupakan keputusan sidang Komisi Fatwa MUI berdasarkan
proses audit yang dilakukan oleh LPPOM MUI.
7.
Sertifikat SJH
Sertifikat
SJH adalah pernyataan tertulis dari LPPOM MUI bahwa perusahaan pemegang
sertifikat halal MUI telah mengimplementasikan SJH sesuai dengan ketentuan
LPPOM
MUI.
Sertifikat tersebut dapat dikeluarkan setelah melalui proses audit SJH sebanyak
dua kali dengan status SJH dinyatakan Baik (Nilai A).
8.
Audit Memorandum
Audit
Memorandum adalah surat atau alat komunikasi antara LPPOM MUI dan pihak yang
diaudit tentang hasil audit yang membutuhkan tindak lanjut.
9.
Evaluasi Hasil Audit
Evaluasi
Hasil Audit adalah penilaian atas hasil audit melalui mekanisme rapat auditor.
10.
Auditor Halal Internal
Auditor
Halal Internal adalah staf atau beberapa staf internal perusahaan yang ditunjuk
resmi oleh Manajemen Perusahaan sebagai staf untuk mengkoordinasikan
pelaksanaan SJH.
11.
Fatwa
Fatwa
adalah hasil ijtihad para ulama terhadap status hukum suatu benda atau
perbuatan sebagai produk hukum Islam. Dalam proses sertifikasi halal, fatwa
merupakan status kehalalan suatu produk.
12.
LPPOM MUI
Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM
MUI), merupakan sebuah lembaga yang dibentuk oleh MUI dengan tugas menjalankan
fungsi MUI untuk melindungi konsumen muslim dalam mengkonsumsi makanan,
minuman, obat-obatan maupun kosmetika.
13.
Komisi Fatwa MUI
Komisi
Fatwa MUI adalah salah satu komisi dalam MUI yang bertugas memberikan nasehat
hukum Islam dan ijtihad untuk menghasilkan suatu hukum Islam terhadap
persoalanpersoalan yang sedang dihadapi umat Islam. Keanggotaan komisi fatwa
mewakili seluruh organisasi Islam yang ada di Indonesia.
14.
Status perusahaan :
a. Baru : Perusahaan yang belum memiliki SH MUI.
b.
Transisi : Perusahaan yang telah memiliki SH MUI namun audit implementasi SJH
belum dilakukan
c.
Perpanjangan : Perusahaan yang telah mendapatkan status SJH minimal B (cukup)
dan akan memperpanjang masa berlaku sertifikat halalnya.
15.
Maklon
Layanan
produksi oleh suatu perusahaan (Pihak I) untuk perusahaan lain (Pihak II) yang
semua atau sebagian bahan disediakan oleh Pihak II. Produk menjadi milik Pihak
II.
[1]
Sunarji, Studi Kelayakan Bisnis, (Medan: FEBI UINSU Press, 2018), Hlm.
71
[2]
Sunaji, Ibid, Hlm. 72
[3] Abdul Aziz, Etika
Bisnis Perspektif Islam, (Bandung : Alfabeta, 2013), hal. 35.
[4]
Sunarji, Op. Cit, Hlm. 74-75
[5]
Mardani, Fiqih Ekonomi
Syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), Hlm. 218
[6]
M. Hasbi Ash-shiddieqy, Hukum Hukum Fiqih Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1996), Hlm. 429
[7]
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2016), Hlm. 147-148
[8]
Sunarji, Op. Cit, Hlm. 84
[9]
Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan Dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, Panduan
Umum Sistem Jaminan Halal Lppom – MUI, (Jakarta: LPPOM MUI, 2008), Hlm.
8-10
No comments:
Post a Comment