Monday, October 28, 2019

RESUME STUDI KELAYAKAN BISNIS: ASPEK SYARIAH DAN HALAL


NAMA                 : MUHAMMAD ALI IMRAN CANIAGO
NIM                     : 0503171084
MATA KULIAH : STUDI KELAYAKAN BISNIS

RESUME
ASPEK SYARIAH DAN HALAL

A.    Definisi Syariah
Secara istilah syariah bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah swt melalui Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah ibadah, akhlak, makanan, minuman, pakaian, maupun muamalah (interaksi sesama manusia dala m berbagai aspek kehidupan (guna meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[1]
Ada empat prinsip (aksioma) dalam ilmu ekonomi islam yuang mesti diterapkan dalam  bisnis syariah, yaitu tauhid (Unity/kesatuan), keseimbangan atau kesejajaran (equilibrium), kehendak bebas (free will) dan tanggung jawab (Responsibility).[2]
B.     Etika Bisnis Syariah
Etika bisnis Islam merupakan suatu proses dan upaya untuk mengetahui hal-hal yang benar dan yang salah yang selanjutkan tentu akan melakukan hal benar berkenaan dengan produk, pelayanan perusahaan dengan pihak yang berkepentingan dengan tuntutan perusahaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengertian etika bisnis islami tersebut selanjutnya dijadikan sebagai kerangka praktis yang secara fungsional akan membentuk suatu kesadaran beragama dalam melakukan setiap kegiatan ekonomi.[3]
C.    Ciri Khas Bisnis Syari’ah
Untuk membedakan antara bisnis syariah dan yang bukan, maka kita dapat mengetahuinya melalui ciri dan karakter dari bisnis syariah yang memiliki keunikan dan ciri tersendiri. Beberapa ciri itu antara lain :
1.      Selalu berpijak pada nilai-nilai ruhiyah
2.      Memiliki pemahaman terhadap bisnis yang halal dan haram
3.      Benar secara Syar’i dalam implementasi
4.      Berorientasi pada hasil dunia dan akhirat.
Jika semua hal diatas dimiliki oleh seorang pengusaha muslim, niscaya dia akan mampu memadukan antara realitas bisnis duniawi dengan ukhrowi, sehingga memberikan manfaat bagi kehidupannya di dunia maupun diakhirat. Akhirnya jadilah kaya yang dengannya kita bisa beribadah di level yang lebih tinggi lagi.[4]

D.    Kerjasama (Syirkah) Dalam Bisnis Syariah
Secara terminologis, menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagaian keutungan berdasarkan nisbah.[5]
Menurut ulama hanafiyyah, Syirkah dibagi menjadi :
a.       Syirkah mufawadhah, yaitu bentuk perserikatan atau kerja sama dalam melakukan bisnis yang dilakukan oleh dua orang atas dasar adanya kesamaan baik dalam modal, keuntungan, kerja, rugi, dan agama. Disebut syirkah mufawadhah karena masing masing pihak yang berseikat menyerahkan harta yang diajdikan modal bisnis.
b.      Syirkah ‘inan, yaitu bentuk perserikatan atau kerja sama dalam melakukan bisnis yang dilakukan oleh dua orang atas dasar tidak diharuskan adanya kesamaan, baik dalam modal, keuntungan, kerja, rugi, dan agama, disebut syirkah ‘inan karena masing masing kedua belah pihak yang berserikat saling menawarkan kerja sama dalam berbisnis.
c.       Syirkah abdan atau syirkah a’mal, yaitu perserikatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk melakukan suatu perbuatan atau proyek yang diterima dari orang lain, yang hasilnya dibagi menurut kesepakatan bersama. Misalnya tukang penjahit yang membuat kaos seragam, tukang bangunan yang membangun rumah atau yang lainnya. Disebut syirkah abdan karena masing masing pihak yang berserikat beramal dengan badannya, dan disebut dengan syirkah a’mal, Karena masing masing pihak pokok modal syirkah tersebut adalah berupa pekerjaan masing masing pihak yang berserikat. M. Hasbi Ash Shiddieqy menyatakan bahwa syirkah abdan adalah bersekutunya dua orang atau lebih untuk mengerjakan suatu pekerjaan dengan menggunakan tenaga badan masing masing dan hasil yang diperoleh mereka bagi.[6]
d.      Syirkah wujuh, yaitu perserikatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, tidak mempunyai modal sekali, namun modalnya adanya kepercayaan. Mereka membeli suatu barang secara kredit kemudian menjualnya kembali kepada orang lain secara tunai, dan keuntungan dari penjualan tersebut dibagi menurut kesepakatan bersama. Disebut syirkah wujuh, karena pihak pihak yang berserikat termasuk orang yang mempunyai kedudukan terhormat, sehingga mendapatkan kepercayaan dari orang lain.[7]
E.     Kehalalan Dalam Berbisnis
Sertifikat halal MUI adalah fatwa tertulis majelis ulama Indonesia yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat islam. Sertifikat halal MUI ini merupakan syarat untuk mendapatkan izin pencaantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang. Tujuan sertifikasi halal untuk memberikan kepastian status kehalalan, sehingga dapat menenteramkan batin konsumen dalam mengkonsumsinya. Kesinambungan proses produksi halal dijamin oleh produsen dengan cara menerapkan system jaminan halal.[8]
Surat Jaminan Halal adalah suatu sistem manajemen yang disusun, diterapkan dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat halal untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI.
Proses sertifikasi halal oleh MUI:[9]
1. Sertifikasi Halal
Sertifikasi Halal adalah suatu proses untuk memperoleh sertifikat halal melalui beberapa tahap untuk membuktikan bahwa bahan, proses produksi dan SJH memenuhi standar LPPOM MUI.
2. Audit
Audit adalah suatu pemeriksaan independen, sistematis dan fungsional untuk menentukan apakah aktivitas dan luarannya sesuai dengan tujuan yang direncanakan.
3. Auditor LPPOM MUI
Auditor adalah orang yang diangkat oleh LPPOM MUI setelah melalui proses seleksi kompetensi, kualitas dan integritasnya dan ditugaskan untuk melaksanakan audit halal. Auditor
LPPOM MUI berperan sebagai wakil ulama dan saksi untuk melihat dan menemukan fakta kegiatan produksi halal di perusahaan.
4. Audit Produk
Audit produk adalah audit yang dilakukan terhadap produk dengan melalui pemeriksaan proses produksi, fasilitas dan bahan-bahan yang digunakan dalam produksi produk tersebut.
5. Audit SJH
Audit SJH adalah audit yang dilakukan terhadap implementasi SJH pada perusahaan pemegang sertifikat halal.
6. Sertifikat Halal
Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk yang merupakan keputusan sidang Komisi Fatwa MUI berdasarkan proses audit yang dilakukan oleh LPPOM MUI.
7. Sertifikat SJH
Sertifikat SJH adalah pernyataan tertulis dari LPPOM MUI bahwa perusahaan pemegang sertifikat halal MUI telah mengimplementasikan SJH sesuai dengan ketentuan LPPOM
MUI. Sertifikat tersebut dapat dikeluarkan setelah melalui proses audit SJH sebanyak dua kali dengan status SJH dinyatakan Baik (Nilai A).
8. Audit Memorandum
Audit Memorandum adalah surat atau alat komunikasi antara LPPOM MUI dan pihak yang diaudit tentang hasil audit yang membutuhkan tindak lanjut.
9. Evaluasi Hasil Audit
Evaluasi Hasil Audit adalah penilaian atas hasil audit melalui mekanisme rapat auditor.
10. Auditor Halal Internal
Auditor Halal Internal adalah staf atau beberapa staf internal perusahaan yang ditunjuk resmi oleh Manajemen Perusahaan sebagai staf untuk mengkoordinasikan pelaksanaan SJH.
11. Fatwa
Fatwa adalah hasil ijtihad para ulama terhadap status hukum suatu benda atau perbuatan sebagai produk hukum Islam. Dalam proses sertifikasi halal, fatwa merupakan status kehalalan suatu produk.
12. LPPOM MUI
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), merupakan sebuah lembaga yang dibentuk oleh MUI dengan tugas menjalankan fungsi MUI untuk melindungi konsumen muslim dalam mengkonsumsi makanan, minuman, obat-obatan maupun kosmetika.
13. Komisi Fatwa MUI
Komisi Fatwa MUI adalah salah satu komisi dalam MUI yang bertugas memberikan nasehat hukum Islam dan ijtihad untuk menghasilkan suatu hukum Islam terhadap persoalanpersoalan yang sedang dihadapi umat Islam. Keanggotaan komisi fatwa mewakili seluruh organisasi Islam yang ada di Indonesia.
14. Status perusahaan :
a. Baru : Perusahaan yang belum memiliki SH MUI.
b. Transisi : Perusahaan yang telah memiliki SH MUI namun audit implementasi SJH belum dilakukan
c. Perpanjangan : Perusahaan yang telah mendapatkan status SJH minimal B (cukup) dan akan memperpanjang masa berlaku sertifikat halalnya.
15. Maklon
Layanan produksi oleh suatu perusahaan (Pihak I) untuk perusahaan lain (Pihak II) yang semua atau sebagian bahan disediakan oleh Pihak II. Produk menjadi milik Pihak II.





[1] Sunarji, Studi Kelayakan Bisnis, (Medan: FEBI UINSU Press, 2018), Hlm. 71
[2] Sunaji, Ibid, Hlm. 72
[3] Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam, (Bandung : Alfabeta, 2013), hal. 35.
[4] Sunarji, Op. Cit, Hlm. 74-75
[5] Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), Hlm. 218
[6] M. Hasbi Ash-shiddieqy, Hukum Hukum Fiqih Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), Hlm. 429
[7] Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2016), Hlm. 147-148
[8] Sunarji, Op. Cit, Hlm. 84
[9] Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan Dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal Lppom – MUI, (Jakarta: LPPOM MUI, 2008), Hlm. 8-10

No comments:

Post a Comment